Friday, January 9, 2015

The Power of Prayer! 2015, I'm gonna hit youuu!

Assalammualaikum,

Hi, it almost a year I didn't touch my blog anymore, but now I think I have to. I want to share some of my stories. Pertama ialah, setelah lulus gue sempet jadi honorer 2-3 bln di Kementerian ESDM sebagai Sekretaris di Direktorat Aneka EBT, setelah itu gue diterima di sebuah Bank BUMN, di sini rasanya kaya jilat ludah sendiri kerja di Bank, memang sih awal masuk kuliah dulu (dulu banget), waktu dibuatin tabungan untuk kuliah sama Mama, sempat terbesit pengen kerja di Bank (Belive it or not, Allah itu mendengar semua doa kita loh, even itu dalam hati).

Jadi waktu itu gue dapet gambaran kalau kerja di Bank itu enak banyak uang terus bajunya rapih-rapih dan kece-kece. Berhubung Mama adalah Accountant selama 20 tahun + dia bekerja, jadi dia pengen banget anaknya ada yang nerusin jejak dia menjadi Accountant. "Mbak, kamu harus ambil kuliah akuntansi ya, nanti jadi Akuntan kayak Mama, kalau dari Akuntansi itu gampang cari kerja, nih kaya Mama sekarang bisa di kemana-mana, Akuntan, Personalia, banyak deh".


Mama memang pengen banget anaknya ada yang nerusin belajar akuntansi, gue juga sampai di jejelin ambil IPC (dulu waktun SNMPTN harus ambil IPC biar bisa ambil jurusan untuk IPA dan IPS), padahal gue waktu SMA itu ambil jurusan IPA itupun di suruh Mama, sejujurnya dari dulu gue pengen ambil jurusan Bahasa, tapi karena di sekolah gue cuma ada IPA dan IPS dan Mama juga gak setuju gue ambil Bahasa karena katanya "Kamu mau jadi apa ambil Bahasa?", gue nggak pernah menyalahkan Mama yang pengen anaknya ikutin jejak dia, karena gue yakin kok setiap orang tua pengen banget anaknya bahagia dan nggak 'susah'. Mama cuma terlalu khawatir anaknya akan susah mendapat pekerjaan. 

Mama memang dulu sedikit berpandangan sempit, sebenernya dari dulu gue pengen banget kuliah jurusan Psikologi, terus Mama gak ngasih karena lagi-lagi dia takut gue gak dapet pekerjaan bagus, "Iya kalo kamu dapet kerja enak, kalau nanti cuma Guru BP gimana?" Mama emang terlalu worry , maklum dia single parent, betul-betul biayain seluruh biaya makan dan pendidikan untuk anak-anaknya sendirian. Hidup ber-4 saja sudah sangat pontang panting mencukupi semuanya tanpa merasa kurang, gue bersyukur sekali memiliki Ibu yang begitu sempurna di mata gue.

Gue juga sempat mau kuliah ahli gizi karena ilmu gue dari IPA sayang sekali ilmu gue gak terpakai, sudah dapat PMDK di Poltekkes di belakang Rumah Sakit Pertamina. Lagi-lagi, Mama khawatir apa akan mudah dapat kerja dengan ilmu Ahli Gizi? Singkat cerita gue ikut tes masuk Unpad, dan semua piliha jurusannya di pilih Mama. Karena waktu itu gue g lolos SNMPTN (tapi memang sudah setengah hati ikut SNMPTN itu karena pilihannya juga ujung-ujungnya Akutansi, sungguh deh itu bukan passion gue). Belajar di bimbel, les private, di rumah semua gue lakuin. Dari Sholat Dhuha, Tahajjud, mengaji, puasa senin kamis, hingga Sholat sunnah seperti hajat dan sebagainya gue jabanin. Haha. Ini bukan untuk riya loh ya, ini bentuk usaha gue untuk bisa lulus sekolah dengan nilai baik dan dapat Universitas bagus. Memang terbesit gue selalu berdoa "ya Allah, semoga aku bisa masuk Universitas Negeri, kalau bisa tidak di Jakarta" Gue bosan di jakarta waktu itu dan mau mencoba merantau, Bandung sempat gue selipkan di doa gue.

Singkat cerita gue lolos d pilihan ke dua Unpad, Sastra Inggris itupun Mama yang milihin. Tapi betulkan, Allah mendengar doa kita bahkan Dia menjawabnya. Drama banget ya kisah awal kuliah gue, haha. Tapi gue sangat mengerti kenapa Mama paling menge-push dan ngebentuk gue, karena gue anak pertama. Biar setidaknya gue bisa memberikan contoh yang baik ke adik-adik gue nanti. Agak heran sih kok Mama nyuruh Sastra Inggris, padahal dulu masuk Bahasa aja nggak boleh, tapi Mama bilang "yaudah coba aja di sini, kan Universitas Negeri, biaya semester perbulannya nggak berat untuk Mama, Mama senang kamu dapat Universitas Negeri, Sastra Inggris siapa tau nanti bisa kerja di Perusahaan Asing Mbak atau di Deplu, bisa keluar negeri ya." kata Mama sumringah. Tiba-tiba Mama menepuk pundak kanan gue, "Yang jelas, ini Wulan" ditepuknya lagi pundak kiri gue, "ini Dimas, kamu harus bisa ya." Kata Mama berbinar-binar. 'Ya Allah kuatkan aku dan lancarkan segala urusanku, semoga bisa membahagiakan dan membanggakan Mama juga adik-adikku' pinta gue dalem hati.

Melihat Mama yang menaruh harapan besar ke gue, gue pun semangat banget kuliah. Sebelum berangkat ke Jatinangor, Mama membuatkan gue tabungan di Bank Swasta sebut saja BCA, haha. Waktu kami ke Customer Service, Staff CS Bank tsb nanya ke gue, "Mau kuliah ya dek? Kuliah dimana?" "Ini mbak, baru mau masuk kuliah di Bandung, Unpad" jawab Mama sergap cepat, tanpa dia tau lokasi kampus jurusan Sastra itu bukan di Kota Bandungnya tapi di Jatinangor, arah Sumedang alias Bandung coret, haha. "Wah jurusan apa? ini samping saya dari Unpad Sastra Jepang." kata Mbak cantik Customer Service itu menunjuk meja sebelahnya. "Jurusan Sastra Inggris, Mbak" jawabku malu-malu. Gue tau beberapa orang memandang rendah jurusan gue, Sastra Inggris bisa apa sih, belajarnya tenses-tenses bahasa Inggris kaya di tempat les gitu ya. Padahal mereka nggak tau, Sastra Inggris nggak menjamin semuanya bagus tenses bahasa Inggrisnya (termasuk gue hahahahha). Maksud gue, Sastra Inggris tidak melulu belajar Grammar, bapak-bapak dan Ibu-Ibu. 

Kembali ke cerita, gue pun menoleh ke Mbak yang berasal dari Sastra Jepang Unpad. 'Wah, cantik, tinggi, kece, rapih' pikir gue dalam hati. Seru juga ya kerja di Bank kayaknya, ternyata dari Sastra bisa kerja di Bank juga. Wah jadi pengen kaya Mbak cantik itu, bajunya bagus, dandan cantik, sopan, ramah. Terlihat seperti itu dulu orang yang bekerja di Bank. "Mam, aku bisa berarti ya kerja di Bank?" "Iya bisa, tuh kaya mbak tadi" Mama yang kayanya setuju-setuju aja kalau gue kerja di perusahaan yang berbau-bau keuangan kayaknya manggut aja. 

Kuliah di Unpad 4,5 tahun betul-betul mengajarkan banyak sekali gue pada pengorbanan, perjuangan, suka cita, dan pengalaman yang tak ternilai. Terima kasih yaAllah atas semua nikmat dan karunia-Mu. Dari ketawa sampai nangis, nangis sampai ketawa, murung sampai gembira, gembira sampai murung, 'gabut' sampai sibuk ga ketolongan, sibuk sampai nggak ada kerjaan, hahaha gila banget deh. Kapan-kapan gue tulis di blog kisah gue di Jatinangor. Seru!



Gue pernah mengalami masa-masa terpuruk dan down waktu Mama baru meninggal satu tahun, gue masih kuliah, wulan kuliah, dimas sekolah, tapi gue harus bayar semua keperluan rumah. Beruntung, Mama memiliki dana pensiun dan sejumlah tabungan. Dengan harus pontang panting, mendapat beasiswa di kampus selama 4,5 tahun (4 tahun dari jalur beasiswa prestasi IPK dan 1 semester beasiswa bantuan untuk Skripi, Skripian (bimbingan dan revisi), mengajar di dua tempat (Antapani dan Ujung Berung), Part time di Majalah Online, Jualan burger keliling-keliling dari satu kamar kosan ke kamar kosan lain sebelum berangkat kuliah kemudian jualan di kampus, tawarkan ke teman-teman kelas, teman-teman jurusan, teman-teman kampus, hingga dosen gue, pagi-pagi bangun tidur yang aku lakukan adalah mem-broadcast dan menge-tweet ada yang masih inget ga broadcast gue? hehe 

"Assalammualaikum, Selamat Pagi teman-teman Jatinangor, sudah pada sarapan? Mau sarapan yang murah tapi kenyang, ada Burnyed (Burger Anyet) bisa di order loh, ada yoghurt aneka rasa juga ... " atau nge-tweet "Halo yang mau burger anyed (Burnyed) bisa ketemu di kampus ya, jam ... " Semuanya masih gue inget, dari subuh bangun sebar broadcast dan nge-tweet lalu masak burger dan sosis, menyiapkan yoghurt, haha sampai kamar ngebul asap karena masak di kosan gue Pondok Tiara, sebenarnya ide jualan ini dari temen SMA gue yang sudah kaya adik buat gue, namanya Dinar. Waktu itu gue curhat tentang Mama yang sakit kanker stadium 3, gue bilang mau meringankan beban Mama, kira-kira gue usaha apa ya, kalau pakaian susah, terus dia bilang "Roti aja mbak, kan murah meriah kenyang buat anak kosan", kata Dinar waktu itu. Terimakasih ya, Dek! Ini ide kamu loh. Hehe. Gue langsung semangat belanja segala perlengkapan burger, daging, roti, mayonasie, sosis, sayuran, saus sambal, dll. Awalnya nggak banyak untung yang di dapat tapi setelah gue cari tahu tempat membeli perlengkapan tersebut dalam jumlah banyak, gue semangat terus meniti ini.

Gue nggak menyangka gue melewati fase ini, gue seorang gadis yang masih manja, masih cengas cenges, hobi main, senang-senang, dan kumpul-kumpul, di hadapkan cobaan seperti ini. Berpikir untuk menyerah? Tentu saja nggak. Walaupun Mama juga nggak bermewah-mewahan, tapi hidup dengan serba ada tanpa merasa kekurangan. Mama memfasilitasi hidup gue, kuliah, biayanya ada, mau handphone ada (walaupun bukan handphone keluaran terbaru banget), mau laptop ada, mau printer ada, mau kos-kosan yang enak pun bisa (walaupun nggak kaya hotel/apartemen seperti kebanyakan kos-kosan sekarang), mau traktir teman-teman pas ulang tahun ada, mau nonton bisokop di Jatos sebulan dua kali juga masih sanggup (Jatinangor Town Square memang punya bioskop yang harga karcisnya mahasiswa banget), semua Alhamdulillah ada walaupun biasa saja dan tidak mewah. Tapi ketika Mama sakit-sakitan, rasanya seperti sedang terjun payung pelan-pelan, makin merosot, merosot, hingga jatuh. Bahkan pernah, diam-diam, gue makan nasi dengan garam dan kecap, pernah. Saat itu gue punya uang di dompet hanya untuk sekali makan, sehingga gue memutuskan untuk di pakai untuk makan malam saja, terus gue buka rice cooker gue, masih ada nasi satu piring sisa gue masak kemarin malam dan masih layak kok dan nggak bau, terus masih ada kecap dan garam (gue memang suka nyetok perlengkapan masak). Itu gue pernah lakuin tanpa bilang ke teman sekamar atau teman-teman yang lain atau bahkan papa dan adik-adik. Hahaha. Tapi gue bersyukur, sangat bersyukur mengingat kisah itu sekarang. :)

Tidak hanya jualan, mengajar anak Teh Ijah (Bibi cuci pakaian dan lulur langganan gue), mengajar anak dosen di Ujung Berung pulang dari kuliah dan jualan, mengajar anak dokter di Antapani naik ojek sampai kehujanan pulangnya gue harus belanja roti, daging, sayuran, dari Bandung ke Jatinangor menenteng dua plastik besar belanjaan, gue jalanin dengan senang hati dan ikhlas. Pernah plastiknya jebol, sedangkan gue harus jalan kaki cari angkot. Gue sendirian, waktu itu punya pacar tapi dia di Pekanbaru, si Ucuk itu. Tapi LDR-an dengan Ucuk juga tidak berlangsung lama. Kata-kata yang gue inget cuma "Orang yang kuat, orang yang bisa bangun walaupun dia sedang jatuh". Gue harus kuat!

Waktu itu putus dari Ucuk, gue sibukkan dengan kegiatan positif, datang ke pengajian-pengajian, datang ke komunitas seperti pemahaman quran, dan lain-lainnya. Tidak heran kalo gue bisa sampai kosan larut malam, seluruh kegiatan gue dilakukan hampir semua di Bandung. Perjalanan dari Jatinangor ke Bandung bisa 1 jam kadang lebih kalau nggak masuk tol. Part time di majalah online Uncluster, di Buah Batu Bandung juga gue jalanin dengan riang. Pulang dari situ suka nebeng naik motor sama Deon, senior gue di kampus yang kerja di situ juga. Justru lowongan itu gue dapat berkat info dari Deon. Terimakasih ya Deon, saya masih inget hutang buatin burger gratis untuk kamu! 

Pernah waktu di tengah hectic-nya segala kegiatan gue yang segambreng, skripsi yang bolak balik revisi di Bab 1 dan 2, jualan setiap hari, kerja di Bandung, ngajar di dua tempat, dan ditambah ikut kegiatan dari beberapa komunitas, badan gue rasanya persis setrikaan panas yang selalu mondar mandir nggak berhenti-berhenti. Sampai akhirnya gue pulang ke kosan jam 9/10 malam (Bus ke Jatinangor susah banget di atas jam 5 sore, jadi harus sambung-sambung pakai angkot), badan gue panas. 

Tepat bersamaan itu baru saja di sms adik gue yang paling kecil kalau dia nggak suka sekolah di Bandung, katanya rasanya pengen berhenti sekolah saja (gue memang menitipkan Dimas ke kakak sepupu gue dari Bokap setelah Mama meninggal, biar biaya Sekolahnya bisa di bantu karena di rumah nggak ada yang urus Dimas juga, Wulan masih kuliah, Papa juga masih sering pergi). Mendengar itu rasanya badan dan hati gue hancur, ditambah saat itu baru akan putus cinta dengan si Ucuk ini. Di tengah semua masalah yang gue hadapi di rumah, kampus, percintaan, kerja, bahkan ke diri gue sendiri. Gue sontak menangis terisak-isak tanpa jeda hingga mata gue bengkak, tapi yang terparah gue memukul-mukul diri gue sendiri dan tangan gue ke kaku nggak bisa bergerak, kaku. 

Alhamdulillah, teman sekamar gue dateng, Aldilla. Waktu skripisian gue ngajak temen gue Dila untuk nge kos bareng gue, alasan pertama biar lebih murah, alasan kedua biar ada temen ngobrol. hehe. Aldilla, atau gue biasa panggil Dila, "Anyettttttt, lo kenapa anyet?" "Dilla, tangan gue kaku dil, tolong dil, kenapa ini?" Dila usap-usap jari gue, gue cuma bisa nangis dan dzikir. Setelah gue tenang, gue tidur dan sudah baikkan besoknya. Besoknya gue ke Rumah Sakit Al-Islam di Soekarno Hatta di antar Senior gue di kampus Kak Bayu (Kak Bayu itu Sahabatnya Edo, masih inget Oriental Boy kan? :)). Gue pikir gue sakit kuning, tipus, atau semacamnya karena terlalu capek. Ternyata "Kenapa, Ajeng?" Kata dokter sambil melihat nama gue di kartu pasien. "Ini, Dok. Saya kemarin kecapekan, badan saya sedikit panas terus kok mata saya keruh ya" "Coba saya cek, saya liat, ini hasil urinenya normal kok, hasil darahnya juga bagus, coba saya cek ya". Setelah mengecek mata, lidah, dan semua normal. Dokter tanya lagi, " Kamu lagi sibuk apa Ajeng?" "Skripsi, Dok. Kemarin tapi saya nangis sampai tangan saya kaku, baru sekali saya kayak gitu" "Kamu seminggu yang lalu ngapain, atau sedang mikirin apa?" "Gak sih dok, Saya cuma kuliah sambil kerja aja, ..." "Orang tua kamu dimana? Ibu Bapak?" "Ibu saya baru meninggal 1 tahun yang lalu, Dok. Ayah saya ... Ayah ada sih Dok di rumah, Ayah saya pisah, Dok, sama Ibu saya 5 sampai 6 tahun belakangan ini, sebelum Ibu meninggal" "Kamu pernah lihat orang tua kamu bertengkar waktu kecil?" "Pernah, Lumayan sering, Dok". Dokter itu menanyakan sedikit tentang kehidupan keluarga gue. Lalu dia kasih gue secarik kertas yang dia gambar seperti otak, dia menjelaskan sedikit "Kamu nggak apa-apa, cuma kamu sedikit mengalami guncangan, kehilangan Ibu yang menjadi tulang punggung, Kehilangan sosok Ayah, kemudian dia datang lagi, merekam kenangan orang tua bertengkar, posisi kamu yang sekarang jadi tulang punggung dimana kamu masih sangat muda, puncaknya sekarang." Mendengar penjelasan Dokter itu, gue cuma bisa nangis. Kenapa semuanya benar. "Ajeng, sebetulnya anak perempuan itu sangat dekat dengan Ayahnya di banding Ibunya, sosok Ayah adalah bodyguard nya dan orang lawan jenis yang menjadi cinta pertama anak perempuan, sedangkan sosok Ibu, ialah sosok role model atau panutan untuk anak perempuan, kamu punya satu sosok, tapi kamu tidak punya satu sosok lagi waktu kamu kecil, sekarang kamu kehilangan sosok Ibu, ini sangat wajar, dengan ketidak siapan semua ini, kamu pendam itu dari dulu dan sekarang memuncak, ingat Allah". "Saya harus ke Psikiater, Dok? Saya gila?" "Hah, kata siapa? Kamu itu sehat. Kondisi kamu saja yang sedang down, terus berdzikir ingat Allah, saya lihat kamu anak yang cukup bisa bertahan dan kuat menghadapi ini". Subhanallah, beruntung sekali gue dapat konsultasi dari Dokter ini. Gue lupa namanya siapa, tapi dia dinas di RSI Al-Islam Soekarno Hatta. "Coba sekarang ikhlas, tenang, perbanyak ibadah lagi, lakukan apa yang Ajeng suka. Ingat, Allah memberikan cobaan sesuai dengan batas kemampuan makhluk-Nya, berarti kamu kuat." Singkat cerita, gue sangat lega dan Dokter tersebut sangat membantu gue. Intinya, gue tidak boleh memforsir diri gue, harus ada istirahat dan refreshing. Dari situ gue mengetahui, gue nggak bisa marah kepada adik-adik gue kalau mereka nakal atau berbuat ulah, seperti Dimas kemarin yang ingin berhenti Sekolah. Pasti mereka juga sedang terpuruk, sedih, sama seperti gue. Terimakasih, Dok. Ini pasti memang rencana Allah mempertemukan gue dengan Dokter itu. Gue takut nanti gue mengidap bipolar disorder seperti yang sedang santer terdengar dari Marshanda karena dia mengalami broken home. Tapi, Alhamdulillah wa syukurillah, gue tidak menderita penyakit tersebut. 'Tidak, Aku kuat, Allah tau aku kuat!' kata gue dalam hati.

Lulus kuliah gue kerja honorer di Kementerian ESDM, padahal cuma honorer, tapi Alhamdulillah bisa ke Manado dan Bangka Belitung dari dinas di sana. Gue cuma bekerja selama hampir 3 bulan d sana, kayaknya belum sampai malahan. Setelah itu gue masuk salah satu Bank BUMN, beda cerita waktu di awal kuliah gue lihat kayaknya seru dan enak juga kerja di Bank, tapi setelah ada di semester-semester akhir, semester 5 ke atas, kayaknya gue nggak minat deh kerja di Bank, bukan 'gue' banget. Gue pernah ngomong ke temen gue malah "Gue nggak pengen kerja di Bank, Gue pengen jadi Dosen, passion gue di situ kayaknya, ataupun kalau kerja, gue pengen di perusahaan asing aja deh, atau Oil and Gas aja kali ya yang gajinya gede-gede" Tapi kapasitas jurusan gue nggak ada di perusahaan-perusahaan tersebut. 

Tapi untuk S2, di posisi sekarang nggak mungkin gue bisa, gue harus kerja untuk keluarga gue. Bokap, Wulan, dan Dimas. Gue sebagai anak tertua dan sudah lulus, langsung menjadi ujung tombak keluarga ini. Bokap gue yang setelah sekian lama tidak tinggal bersama kita, kembali. Asing, jelas gue merasa asing dan aneh dengan kehadiran Bokap. Iya, gue tau kok beberapa orang akan bilang "Bapaknya balik lagi?" "Lah terus siapa yang kerja? Ajeng? Bapaknya ngapain?" sudahlah nggak usah di bahas masalah itu. 

وَ اعْبُدُوا اللَّهَ وَ لا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَ بِالْوالِدَيْنِ إِحْساناً وَ بِذِي الْقُرْبى‏ وَ الْيَتامى‏ وَ الْمَساكينِ وَ الْجارِ ذِي الْقُرْبى‏ وَ الْجارِ الْجُنُبِ وَ الصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَ ابْنِ السَّبيلِ وَ ما مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كانَ مُخْتالاً فَخُوراً (36)
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan- Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu- bapa, karib- kerabat, anak- anak yatim, orang- orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang sombong dan membangga- banggakan diri,( 36 )


Dari ayat itu gue berkeyakinan, 'Surga ku ada di orang tuaku, seperti apapun orang tuaku, aku menerima dia sebagaimana mereka menerimaku, aku menyayanginya sebagaimana mereka menyayangi aku ketika aku kecil. Berbuat baik yang utama ialah kepada Ibu, Ibu, Ibu, kemudian Ayah, bagaimana bisa aku melangkahkan Ayahku dengan orang lain padahal jelas tertera di Al-Quran, bagaimana mungkin aku memberi makan anak jalanan, atau kerabat ku sedangkan Ayah ku juga kelaparan?' Pikir gue dalam hati dalam setiap doa gue. Dengan melihat ayat ini, cukup sudah aku menyimpan rasa sedih, kesal, dan benci.

Bokap gue adalah orang asli keturunan jawa tengah, Solo dan Kudus. Dulu dia seorang pelaut kapal pesiar milik asing. Kenangan sama Bokap terbanyak itu gue dapet waktu gue kecil, Papa itu sangat memanjakan anak-anaknya, nggak boleh makan sembarangan, nggak boleh main kotor, nggak boleh ini, nggak boleh itu, selain memanjakan lebih tepatnya otoriter dan disiplin. Dulu dia nggak begitu paham tentang Sholat, dia bekerja lebih dari 25 tahun di laut dan bukan di Indonesia, bahkan dia nggak tahu kiblat dimana, tapi Papa beragama Islam, dia puasa dan percaya Allah. Sekarang gue berani menulis ini karena kondisinya, Papa sudah banyak berubah, terserah orang mau bilang "Udah nggak ada Mamanya sekarang baru berubah, kemarin kemana emangnya", menurut gue itu cuma orang-orang dengan hati yang tidak ikhlas dan bikin gue cuma menggali masa lalu lagi.





Papa sekarang sholat 5 waktu, Papa sholat jumat, Papa mengaji yassin (walaupun pakai tulisan bahasa Indonesianya), Papa baca buku-buku bertajuk Islami, Papa berubah. Tidak 100% tapi 70%. Ada beberapa perilaku yang memang belum berubah, tapi gue yakin pasti bisa. Ini semua berkat doa, ini semua berkat doa. Allah dengar semua doa gue, semuanya, walaupun dijawab secara bertahap tapi gue tau, Dia dengar, Dia lihat, Dia jawab. Gue selalu bilang ke temen-temen gue "Walaupun dari keluarga broken home, keluarga gue udah hancur, gue gak mau jadi hancur juga, gue gak mau jadi sampah, pasti nanti orang bilang 'ih anaknya si ibu ini jadi begitu, iya lah karena broken home ya', gue gak mau kaya gitu. Gue mau orang bilang 'Hebat ya anaknya si ibu Fera, biar dari keluarga yang serba pas-pasan dan broken home, tapi anak-anaknya maju dan sukses!', itu harapan gue, kalau perlu bermanfaat untuk orang lain" Itu adalah percakapan gue ke beberapa orang terdeket gue.

Dan sekarang, gue masih on progress mencapai semua impian gue. Kerja di Bank satu tahun sudah menyadarkan gue, ya ini bukan passion gue. Beberapa bulan terakhir sebelum genap 1 tahun, gue sering sakit-sakitan, hahaha, entah kepala pusing, badan panas, ya Allah gue kan nggak bisa bekerja dengan angka, kenapa gue iya in kerja di Bank. Waktu itu gue terima karena gue butuh pekerjaan tetap, bukan honorer. Biar gue punya asuransi kesehatan, sakit yang di derita Mama waktu itu cukup banyak menghabiskan biaya, bukan cukup lagi, banyak banget malahan. Karena waktu di ESDM gue cuma honorer yang kebijakannya juga berubah-ubah (baik gaji dan lain-lain). Akhirnya karena di depan mata ada tawaran pekerjaan tetap, maka gue terima deh. Tapi gue inget lagi, jangan-jangan Allah benar-benar mengabulkan permintaan gue kerja di Bank, waktu di awal gue kuliah. Ya Allah engkau baik sekali, terima kasih aku di beri kesempatan dan pengalaman bekerja sebagai seorang Back Office Staff di Bank. Aku tidak menyesal yaAllah. Aku bersyukur. Kerja di sana pun aku bisa makan halal dan mencukupi kebutuhan keluarga walaupun itu pas-pasan, jelas karena gaji di Bank yang aku dapatkan waktu itu UMR (Upah Minimum Regional) Jakarta. Rp. 2.500.000 bisa membayar listrik rumah, makan ber 4, ongkos, dan lain-lain. Cukup? Kok bisa? Nggak tau, tapi ada aja loh. Alhamdulillah.

Setelah itu setahun lalu tepatnya, Jakarta di landa banjir. Sudah pasti daerah rumah gue juga kena, apa sih yang kalian dengar dari Ciledug? Banjir? Macet? sudah pasti. Hehe. Tahun lalu betul-betul mengajarkan gue banyak hal juga. Dari keluarga, cinta, uang, teman, dan semuanya. Waktu gue sekeluarga kebanjiran, rumah di rumah jangan di tanya bagaimana bentuknya, sudah tua, reyot, rusak, dan bocor. Setelah Mama meninggal, semuanya berubah, hawa rumah rasanya nggak sama. Gue nggak punya biaya untuk renovasi ataupun menambal kebocoran. Sampai akhirnya, gue sedih banget kita sekeluarga jalan kaki keluar komplek dengan menggulung pakaian kita untuk mengungsi ke Asrama kantor gue dengan izin atasan gue. 'Ya Allah, kuatkan aku, berikan lah aku rezeki-Mu yang halal dan berkah, yang bisa menaikkan derajat keluarga ku kembali baik di dunia maupun akhirat".

Percaya atau tidak, kumpul dengan teman-teman itu sudah sangat jarang gue lakuin. Semua karena gue nggak punya uang untuk kumpul dengan mereka kalau cuma nongkrong di kafe dan ke tempat-tempat 'fancy' lainnya. Bukan karena nggak mau, tapi nggak mampu. Kondisinya beda, sumber uangnya sekarang di gue dan gue harus membagi pendapatan gue ke keluarga. Bukan seperti dulu yang gue cuma bisa minta ke Mama untuk jajan lebih atau jalan.

Gue pun berpikir untuk mencoba menjadi pramugari Garuda Indonesia, entah bagaimana awalnya semua tahap sudah aku lalui, hingga di Medical Check Up, dari sini betul-betul tinggal selangkah lagi, ternyata gue gagal, padahal sudah remedex, menurut pihak kesehatan Garuda, ternyata HB gue saat itu sangat rendah. Tapi gue berpikir positif, Allah itu tepat waktu kok tidak pernah terlalu cepat dan tidak pernah terlalu lambat, tepat. Ini pasti bukan waktunya, pikir gue dalam hati. Gue pun sempat ikut SQ atau Singapore Airlines, gue lupa di tahap apa yang jelas sudah melewati tahap awal (Tinggi Berat Badan), Cek document (CV, Photo, Education Certification), Interview (6 candidates with 2 Interviewers), Tes Bahasa Inggris tertulis, dan Interview One on One. Gue gagal di Interview One on One. Tapi Allah pasti selalu menghargai setiap perjuangan, karean nggak ada perjuangan yang sia-sia.

Resign dari Bank, membuat gue sangat lega, stress berkurang, kesehatan membaik, gue jauh lebih baik rasanya. Ini bukan berarti gue nggak suka bersyukur ya, kerja di Bank itu untuk yang  memiliki passion di sana lo pasti suka, kerja disiplin, datang tepat waktu, baju rapih, kece banget deh. Tapi ada orang yang tidak bisa bekerja di tempat yang bukan bidangnya. Gue nggak pernah menyesal. Kerja di berbagai bidang memberikan gue pelajaran dan pengalaman yang tiada nilainya. Toh, waktu di Bank gue mendapat fasilitas yang baik, atasan yang baik, dan lain-lain yang nggak bisa gue sebutkan.

Setelah resign gue memutuskan untuk istirahat dulu, menikmati masa senggang dan istirahat yang cukup untuk memulihkan kondisi gue. Tapi tanpa di sangka-sangka, ada telpon masuk 2 minggu setelah gue resign. Gue di panggil interview dan tahap-tahap di sebuah perusahaan asing di Indonesia, bukan Oil and Gas memang, tapi carbon black. Hah? Kapan gue ngelamar di sana ya? Sekretaris? Pernah sih ngelamar-ngelamar jadi Sekretaris tapi kayaknya di Jobstreet deh. Ternyata beberapa bulan lalu gue pernah datang ke ITB Fair yang awalnya iseng-iseng aja karena jelas gue tau nggak mungkin ada lowongan untuk jurusan gue di perusahaan-perusahaan oli and gas atau mining. (Pikir gue waktu itu loh ya!). Ternyata, gue di terima jadi Sekretaris di Perusahaan ini, MashaAllah Alhamdulillah. Allah kasih lagi rezeki yang baik belum genap gue resign 1 bulan dari kantor sebelumnya. Mungkin Allah tahu, gue nggak bisa berhenti atau berleha-leha dulu karena jelas banyak kebutuhan yang harus gue lengkapi. Gue harus sigap dan cepat mendapat pekerjaan. Gaji di Perusahaan asing ini pun jauh lebih baik dari kantor gue sebelumnya. Bersyukur? Jelas. Gue bersyukur sekali. Satu doa tercapai lagi, ingat di awal kuliah pembicaraan gue dengan Mama? Siapa tahu gue bisa kerja di perusahaan asing. Ya, gue dapat itu, Sebuah perusahaan milik Amerika memang tidak terkenal seperti Oil and Gas, tapi gue punya banyak teman dari berbargai warga negara dari sini. Alhamdulillah ya Allah.

Sungguh, kalau Mama masih hidup gue ingin sekali memanjakan dia, mau ajak dia ke mana-mana, membalas apa yang sudah dia perjuangkan untuk gue dan adik-adik. Walaupun gue tahu, gue nggak akan bisa membalas semua jasa dia sedikitpun. Berkat dia gue tau apa itu pengorbanan, perjuangan, usaha, keinginan. Mama pernah bilang "Kalau kamu mau sesuatu, yakin saja, usaha terus dan berdoa, yakin lagi, yakin kamu pasti bisa dapat itu. Siapa yang yakin dan bersungguh-sungguh pasti dapat. Kamu nggak akan pernah merasakan apa yang namanya di 'atas' kalau kamu tidak pernah merasakan apa yang namanya di 'bawah'". Kalau kata Imam Syafi'i, Man Jadda Wa Jadda, Siapa yang bersungguh-sungguh dia akan berhasil. Terimakasih ya Allah.

Sekarang, 2015 ini gue siap bertarung dan berusaha untuk mendapatkan impian gue. Ingat, Allah tepat waktu, tidak pernah terlalu cepat, tidak pernah terlalu lambat. Bahkan Ayat Al-Quran, Al Insyirah ayat 5-6,

Ayat nya saja sampai di ulang 2 kali, sesudah kesulitan pasti ada kemudahan, mungkin satu kesulitan bisa dua kemudahan. Kesulitan dan Kemudahan itu menyatu, mungkin kalau si Kesulitan jatuh ke lubang, si Kemudahan juga masuk ke dalamnya. Maka gue harus yakin. Man Jadda Wa Jadda, Man Shabara Zhafira (Siapa yang bersabar akan beruntung).

Kalian tahu sekarang gue siap menjadi apa? Nanti akan gue lanjutkan ya. Sebuah kekuatan doa terbukti lagi. Semoga semuanya lancar. Terimakasih yaAllah. Semoga kita semua selalu di sayang dan di lindugi oleh Allah dalam setiap langkah kita ya :)

Love-

Ajeng